Senin, 08 April 2013
ketika amalan tercampur riya' dan keinginan dunia
Amalan yang Tercampur Riya’
1. Jika riya’ ada dalam setiap ibadah, maka itu hanya ada pada orang munafik dan orang kafir.
2. Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima.
3. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya pada makhluk, maka pada saat ini ibadahnya juga batal.
4. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari amalan awalnya tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur’annya dari biasanya karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal. Namun niat awalnya tetap ada dan tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.
5. Jika niat awalnya sudah ikhas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian dari orang lain tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang disegerakan bagi orang beriman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[1]
Beramal Akhirat untuk Mendapatkan Dunia
Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:
[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.
[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama.[2]
Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
[Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.[3]
Sebenarnya jika seseorang ikhlas dalam beramal tanpa mengharap-harap dunia, maka dunia akan datang dengan sendirinya. Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”[4]
Bagaimana Cara Agar Ikhlas?
1. Mendalami ilmu ikhlas dan riya’.
2. Mengenal nama dan sifat Allah dan lebih mendalami tauhid.
3. Selalu memohon kepada Allah agar dimudahkan untuk ikhlas dalam setiap amalan.
4. Berpikir bahwa dunia ini akan fana.
5. Takut mati dalam keadaan su’ul khotimah (akhir yang jelek) dan takut terhadap siksa kubur.
.6 Memikirkan kenikmatan surga bagi orang-orang yang berbuat ikhlas.
7 M.engingat siksa neraka bagi orang-orang yang berbuat riya’.
8. Takut akan terhapusnya amalan karena riya’.
9. Semangat dalam menyembunyikan amalan, rutin dalam melakukan shalat malam dan puasa sunnah.
10. Meninggalkan rasa tamak pada apa yang ada pada manusia.
11. Memiliki waktu untuk mengasingkan diri dan menyendiri untuk beramal.
12. Bersahabat dengan orang-orang sholih yang selalu ikhlas dalam amalannya.
13. Membaca kisah-kisah orang yang berbuat ikhlas.
. 14 Sering muhasabah atau introspeksi diri.
15. Mengingat bahwa setan tidak akan mengganggu orang-orang yang berusaha untuk ikhlas.[5]
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjadi orang-orang yang berbuat ikhlas dalam beramal. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
*Ainun Jariyah*.
[1] Disarikan dari penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hadits pertama.
[2] Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133, Maktabah Al ‘Ilmi, Jeddah.
[3] Disarikan dari penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hadits pertama.
[4] HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139
[5] Disarikan dari Ta’thirul Anfas, 451-480
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar