Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan
Lahirnya Siti Fatimah Az-Zahra r.a. merupakan rahmat yg dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad Saw. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yg suci. Ia laksana benih yg akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah Saw. Ia satu-satunya yg menjadi sumber keturunan paling mulia yg dikenal umat Islam di seluruh dunia. Siti Fatimah Az-Zahra r.a. dilahirkan di Makkah pada hari Jumaat 20 Jumadil Akhir kurang lbh lima tahun sebelum bi’tsah.
Siti Fatimah Az-Zahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah dikala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Siti Fatimah Az-Zahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Ia berkenalan dgn pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita didalam Syi’ib akibat pemboikotan orang-orang kafir Quraiys terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi’ib datang pula pukulan batin atas diri Siti Fatimah Az-Zahra r.a. Siti Fatimah Az-Zahra r.a ditinggal wafat ibundanya tercinta Siti Khadijah r.a hingga kabut sedihan selalu menutupi kecerahan hidupnya sehari-hari dgn putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Tapi Rasul Allah Saw. sangat mencintai puterinya ini. Siti Fatimah Az-Zahra r.a. adalah puteri bungsu yg paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasul Allah Saw. Nabi Muhammad Saw. merasa tak ada seorang pun di dunia yg paling berkenan dihati beliau dan yg paling dekat di sisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul Allah Saw. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dgn hadits yg diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah Saw. berkata kepada Imam Ali r.a.
“Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia ia menyusahkan aku dan siapa yg menyenangkan dia ia menyenangkan aku…”
Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi melainkan suatu penegasan bagi umatnya bahwa puteri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yg ditinggalkan di tengah ummatnya.
Di kala masih kanak-kanak Siti Fatimah Az-Zahra r.a. menyaksikan sendiri cobaan yg dialami oleh ayah-bundanya baik berupa gangguan-gangguan maupun penganiayaan-penganiayaan yg dilakukan orang-orang kafir Quraiys. Ia hidup di udara Makkah yg penuh dgn debu perlawanan orang-orang kafir terhadap keluarga Nubuwaah keluarga yg menjadi pusat iman hidayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ketegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Quraiys. Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Siti Fatimah Az-Zahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya serta mempersiapkan kekuatan mental guna menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya wafat Siti Fatimah Az-Zahra r.a. hidup bersama ayahandanya. Satu-satunya orang yg paling dicintai. Ialah yg meringankan penderitaan Rasul Allah Saw. tatkala ditinggal wafat isteri beliau Siti Khadijah.
Pada satu hari Siti Fatimah Az-Zahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang dgn kepala dan tubuh penuh pasir yg baru saja dilemparkan oleh orang-orang Quraiys disaat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu Siti Fatimah r.a. segera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang Quraisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Muhammad Saw. Guna menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya maka Nabi Muhammad Saw. sambil membelai-belai kepala puteri bungsunya itu berkata.
“Jangan menangis.. Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya”
Dengan tutur kata penuh semangat itu Rasul Allah Saw. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Siti Fatimah r.a. dan sekaligus mengisinya dgn kesabaran ketabahan serta kepercayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Quraiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan namun Nabi Muhammad Saw. tetap melaksanakan tugas risalahnya.
Pada ketika lain lagi Siti Fatimah r.a. menyaksikan ayahandanya pulang dgn tubuh penuh dgn kotoran kulit janin unta yg baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Rasul Allah Saw. itu adalah Uqbah bin Mu’aith, Ubaiy bin Khalaf, dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlumuran najis Siti Fatimah r.a. segera membersihkannya dgn air sambil menangis.
Masih banyak lagi pelajaran yg diperoleh Siti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya utk menghadapi masa mendatang yg berat dan penuh cobaan.
Hingga Siti Fatimah Az-Zahra r.a. telah mencapai puncak remajanya. Kecantikan dan keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yg menggantungkan harapan ingin mempersunting puteri Rasul Allah Saw itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad Saw. mengemukakan bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah Swt. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Umar Ibnul Khatab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah saw. duduk dalam mesjid. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain tentang persoalan puteri Rasul Allah Saw. Saat itu beliau bertanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.
“Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya.
Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-gopoh.. Imam Ali r.a terperanjat dan menyambutnya serta bertanya..
“Anda datang membawa berita apa?”
Setelah duduk beristirahat sejenak Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya.
“Hai Ali engkau adalah orang pertama yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat Rasul Allah Saw. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau utk dapat mempersunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya ditolak. Beliau mengemukakan bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah Swt. Akan tetapi hai Ali apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menjeput puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar utk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu”
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. berlinang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata.
“Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yg semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yg sudah kulupakan. Demi Allah aku memang menghendaki Fatimah tetapi yg menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa”
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yg memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a. Abu Bakar r.a. berkata.
“Hai Ali janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”
Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. berhasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. utk melamar puteri Rasul Allah Saw.
Beberapa waktu kemudian Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah Saw. yg ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah Saw.
“Siapakah yg mengetuk pintu?”
Rasul Allah Saw. menjawab.
“Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad Saw. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi:
“Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku ,orang kesayanganku!” jawab Nabi Muhammad Saw.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad Saw. itu..
“Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai kakiku tersandung. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah Saw. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya. Rasul Allah mendahului dan berkata”
Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg engkau perlukan akan kau peroleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah Saw. yg demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata.
“Maafkanlah ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa. Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda. Dan anda ya Rasul Allah adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya.
“Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib”
“Hai Ali apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta”
“Tentang pedangmu itu” kata Rasul Allah Saw. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib.
“engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wa jalla sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!”
Demikian versi riwayat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah semuanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah Saw. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya..
“Bahwasanya Allah Swt. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham. Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. utk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah Saw. Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah utk “biaya pesta” perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan utk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga. (sehelai baju kasar perempuan; sehelai kudung; selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam; sebuah balai-balai; dua buah kasur terbuat dari kain kasar Mesir; empat buah bantal kulit buatan Thaif; kain tabir tipis terbuat dari bulu; sebuah tikar buatan Hijr; sebuah gilingan tepung; sebuah ember tembaga; kantong kulit tempat air minum; sebuah mangkuk susu; sebuah mangkuk air; sebuah wadah air utk sesuci; sebuah kendi berwarna hijau; sebuah kuali tembikar; beberapa lembar kulit kambing; sehelai ‘aba-ah; dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air)
Sejalan dgn itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dgn perkakas yg sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu utk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yg disiapkan guna menanti kedatangan isterinya Siti Fatimah Az-Zahra r.a.
Siti Fatimah r.a. dgn perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yg sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah Saw. telah mendidiknya bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yg paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yg ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dgn perkakas-perkakas rumah yg serba megah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dgn rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Siti Fatimah r.a. menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah Saw. tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam yg senantiasa sanggup berkorban seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yg murni dan agung. Siti Fatimah berpendirian dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya terhadap ayahandanya Nabi Muhammad Saw.
suami isteri yg mulia dan bahagia ini selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dgn kerja keras. Siti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dgn tangan sendiri. Ia membuat roti menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yg tidak ditangani dgn tenaga sendiri. Rasul Allah Saw. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Siti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yg melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan
Pada suatu hari Rasul Allah Saw. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yg dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis Rasul Allah Saw. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya.
“Fatimah terimalah kepahitan dunia utk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak”
Siti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah Saw. dgn gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya. Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hati beliau. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yg jauh jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pahlawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan melestarikan dan membangkitkan perjuangan yg tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupakan kekuatan penggerak yg luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.
Puteri beliau yg bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yg sangat cemerlang dan menonjol sekali peranannya dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yg menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam.
Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lbh 10 tahun, Siti Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepeninggal Siti Fatimah r.a. Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah hingga wafatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yg tidak bertentangan dgn hukum Islam. Dalam satu periode tidak pernah lbh 4 orang isteri
Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fatimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Bukan hanya namanya yg tak tersebutkan, bahkan gejolak hatipun tak ada yang tau. mereka tak mau cinta yg lain membesar melebihi cintanya pada Allah. Pernikahan adalah utk melengkapi ibadah, karena itu Ali akhirnya melamar Fatimah.
dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada Ali..
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
Ali terkejut dan berkata,
“kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fatimah berkata,
“Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar