CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 12 Januari 2013

CURAHAN HATI DI KALA HUJAN

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Izinkanku menulis lagi, merangkai kata demi kata yang menjadikannya indah di sela-sela nuansa dingin yang membuat tubuh tak ingin beranjak walaupun waktu tak kenal henti berputar. Langit mendung, titik-titik air membasahi bumi tiada henti sejak pagi, ku pandangi tetes demi tetesnya, seolah mengitung namun tak dapat terprediksi berapa jumlahnya. Izinkanku menulis lagi, menulis apa yang ingin di utarakan maksud hati. Bagai rintik hujan yang memberikan manfaat, namun tak terhitung seberapa faedah yang di dapat, bahkan membuat kita lupa. Lupa akan nikmat-Nya. Terkadang jiwa seolah berprasangka, mulut tak sadar sering menghujat, tak terima hujan yang dianugrahkan oleh-Nya membuat rasa syukur itu berubah menjadi rasa benci. Sekarang salah siapa ketika Sang Khaliq menurunkan hujan yang tiada henti dan terkadang menjadi malapetaka untuk diri sendiri. Salah siapa? 
ketika titik-titiknya mulai turun ke bumi, terkadang kita mengeluh seakan tak terima atas anugrah gratis berlimpah yang diberikan-Nya kepada kita. Kita tak bisa beginilah, tak bisa begitulah, kita suka bermalas-malasan, dan mempertanyakan 'mengapa hujan harus turun disaat sekarang?'. Adakah terlontar 1 kata 'syukur' dari bibir kita yg telah diciptakan-Nya begitu sempurna untuk kita? Mengapa hanya kita gunakan untuk mengeluh, mengeluh dan terus mengeluh? Namun sadarkah kita ketika sekian lama air yang penuh manfaat ciptaan-Nya itu tidak kunjung pula turun ke bumi, baru kita sadari, baru mulut kita mau terbuka, berbusa memohon pinta agar diturunkan hujan untuk kita. Ketika semua terasa kering dan gersang baru kita mengingat akan anugrah-Nya. Inikah yang kita katakan rasa syukur? Untung saja Allah tak pernah dendam ataupun membenci kita karena ulah kita yang sering lupa diri.

Semoga dengan curahan hati akan kekecewaanku dengan ulah kita (manusia) membuat kita dapat sedikit tergugah dan merenung disela-sela hujan yang membasahi bumi cinta kita. Menyadarkan bahwa disetiap titiknya terdapat manfaat besar yang menyadarkan kita akan kebesaran-Nya atas segala sesuatu yang ada di Dunia dan seisinya. Dan berdoalah dikala hujan turun dengan doa yang di ajarkan oleh Rasulullah,
"Allohumma shoyyiban naafii-'an"
Artinya :
Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat (untuk manusia, tanaman, dan binatang)

CUKUP CINTAI DIA DALAM DIAM

bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang,
cukup cintai ia dalam diam ..

karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya ..
kau ingin memuliakan dia,
dengan tidak mengajakanya menjalin hubungan yang terlarang,
kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya.

karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu ..
menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu ..

karena diammu bukti kesetiaanmu padanya ..
karena mungkin saja orang yang kau cinta adalah juga orang yang telah ALLAH swt. pilihkan untukmu ..

ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan Ali ??
yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan ..
tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah ..

.............

karena dalam diammu tersimpan kekuatan ..
kekuatan harapan ..
hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata ..
bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yanng berharap padanya ??

dan jika memang 'cinta dalam diammu' itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata,
biarkan ia tetap diam ..

jika dia memang bukan milikmu,
toh Allah, melalui waktu akan menghapus 'cinta dalam diammu' itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat ..

biarkan 'cinta dalam diammu' itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu
menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu ..

(diambil dari Wa Sukma Dwi's note, with permission)


NB:
Note ini mengingatkan sy ttg kisah Fatimah ra and Ali bin abu tholib,,,
smga ini bs jdi bhn share u/ kita semua yg butuh u/ mengingatkan sodaranya, ato justru 'is in case', kita sndiri yg mengalaminya...
"Allah selalu tau isi hati hamba-Nya" ^_^
smoga bisa diambil ibrohnya...

SENYUM DI KALA DUKA :)

Suatu hari kesabaran Rasulullah diuji oleh Allah Swt. Dan istri beliau Saw yang bernama Maria Qibtiyah, Rasulullah memperoleh anak laki-laki yang diidam-idamkan. Begitu gembiranya beliau, sampai-sampai anak bernama Ibrahim itu sering di gendong beliau. Rasulullah berharap, Ibrahim akan seperti Nabi Ibrahim a.s. Namun, ternyata harapan beliau tidak kesamapaian. Pada usia tiga tahun, Ibrahim meninggal dunia, mendadak tanpa sakit terlebih dahulu. Rasulullah sangat berduka, hingga matanya banjir dengan air mata.
Seorang sahabat membereranikan diri bertanya, "Engkau mengangis, ya Rasulullah?"
Rasulullah menjawab, "Ya, karena aku manusia biasa, yang tidak boleh adalah meratap."
Kebetulan pada hari yang sama dengan meninggalnya Ibrahim, terjadi gerhana matahari sampai Madinah menjadi gelap. Masyarakat ribut, mereka menyangka terjadi gerhana matahari karena putra Rasulullah Saw wafat.
Rasulullah pun mendengar dan bersabda, "Baik matahari maupun bulan, keduanya tidak akan ditimpa gerhana hanya karena kematian seorang manusia. Siapa pun yang mati itu. Gerhana matahari dan bulan terjadi semata-mata karena kehendak Allah Swt.
Riwayat diatas menunjukkan kepada kita bahwa pribadi Rasulullah Saw yang murah senyum mampu menangis manakala beliau kehilangan putra kesayangannya.
Tangisan ini adalah tangisan keduakaan dan pasti dialami oleh semua manusia, hanya saja Rasulullah Saw tidak sampai larut dalam kesedihan. Sebagaimana Allah Swt Firmankan dalam surat Al-Insan [76] ayat 24: "Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu." Ayat ini mengandung makna ajakan untuk selalu bersabar dalam kondisi apa pun dan dimana pun, melaksanakan ketetapan Allah dengan penuh sabar. Bagaimanapun juga ketetapan Allah (seperti rezeki, jodoh, dan kematian serta Hari Pembalasan) sudah pasti datangnya. 
Pribadi senyum adalah pribadi bijaksana. Artinya ia mampu menyesuaikan diri dengan keadaan. Pada waktu sedih akan ikut sedih (namun tidak larut terlalu lama dalam kesediahn). Kemampuan kita untuk menyesuaikan diri akan mempengaruhi kualitas diri sebenarnya. 

KISAH SEJANTAN 'ALI

Bismillah....

Kisah pertama ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah. Chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”


Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn
’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.


Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.


”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..

Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.


”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”


Cinta tak pernah meminta untuk menanti.Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.



Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.

’Umar memang masuk Islam belakangan,sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?

Dan lebih dari itu,’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.


Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.

Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.

Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.

Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.

”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.

Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau
ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”

’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.


Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.


Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?


”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”


’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.


Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.

Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.

Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.


”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar t***l! T***l!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”


Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.


Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.Sekarang.

Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”


Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.

Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kisah ini disampaikan disini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an

Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu

Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.